Perempuan itu duduk termangu di beranda. Melihat anak-anak bermain di tengah
lapangan tepat di seberang rumah. Ditemani segelas es lemonade yang kecut
karena lemonnya namun seimbang dengan manis gulanya. Rambutnya sekarang sudah melebihi bahu dan sudah tak ada lagi yang namanya ekor kuda. Mengamati mereka itu.... just makes the old things back, pikirnya.
Ia pikir dulu bermain seperti itu tidak asik. Lengket dan ‘gosong’.
Matahari terlalu kejam untuknya. Ya dia dulu hanya anak rumah. Tak pergi
kemana-mana saat pulang sekolah, mengobrol secukupnya saja dengan orang rumah,
langsung pergi ke beranda untuk melihat mereka disiksa oleh terik matahari
namun mereka bergeming tak peduli. Bermain sangat mengasyikkan, apalagi dengan
teman.
Sekarang? Ia kembali ke tempat ini. Di beranda ini lagi. Sama
seperti dulu. Bedanya mereka yang biasanya ada di tengah lapangan saat kecil dulu
sudah digantikan oleh penerus mereka yang baru. Karena mereka sekarang sudah
disibukkan oleh kehidupan yang nyata. Kehidupan yang memfrasekan ‘tidak ada
waktu untuk bermain’ disetiap detik waktunya. Namun berita yang terdengar kelompok mereka awet
hingga sekarang.
Mungkin kau bisa bilang dia menyesal. Tidak kawan, ia tidak menyesal. Namun kecewa.
Mengapa saat itu mereka tidak mengajaknya? Jelas-jelas ada satu
diantara mereka yang melihatnya duduk di beranda. Mereka pasti juga tahu ia benci dengan si matahari. Tapi setidaknya mereka pantas untuk mencoba. Perempuan itu bahkan perlu waktu berpikir yang sangat lama untuk menolak, dan dalam
sepersekian detik cepatnya mengiyakan ajakannya.
Dapat berumur seperti anak-anak yang sedang ia lihat dan segera berlari menuju mereka dan bergabung bersama tanpa
menunggu ajakan mereka. Ia sempat menginginkan itu.
Ia tidak akan mengulangi kesalahan kedua kalinya. Sayangnya, not everyone deserves a second chance.