Tuesday, August 7, 2012

Kids In Alley

Perempuan itu duduk termangu di beranda. Melihat anak-anak bermain di tengah lapangan tepat di seberang rumah. Ditemani segelas es lemonade yang kecut karena lemonnya namun seimbang dengan manis gulanya. Rambutnya sekarang sudah melebihi bahu dan sudah tak ada lagi yang namanya ekor kuda. Mengamati mereka itu.... just makes the old things back, pikirnya.
Ia pikir dulu bermain seperti itu tidak asik. Lengket dan ‘gosong’. Matahari terlalu kejam untuknya. Ya dia dulu hanya anak rumah. Tak pergi kemana-mana saat pulang sekolah, mengobrol secukupnya saja dengan orang rumah, langsung pergi ke beranda untuk melihat mereka disiksa oleh terik matahari namun mereka bergeming tak peduli. Bermain sangat mengasyikkan, apalagi dengan teman.

Sekarang? Ia kembali ke tempat ini. Di beranda ini lagi. Sama seperti dulu. Bedanya mereka yang biasanya ada di tengah lapangan saat kecil dulu sudah digantikan oleh penerus mereka yang baru. Karena mereka sekarang sudah disibukkan oleh kehidupan yang nyata. Kehidupan yang memfrasekan ‘tidak ada waktu untuk bermain’ disetiap detik waktunya. Namun berita yang terdengar kelompok mereka awet hingga sekarang.

Mungkin kau bisa bilang dia menyesal. Tidak kawan, ia tidak menyesal. Namun kecewa.
Mengapa saat itu mereka tidak mengajaknya? Jelas-jelas ada satu diantara mereka yang melihatnya duduk di beranda. Mereka pasti juga tahu ia benci dengan si matahari. Tapi setidaknya mereka pantas untuk mencoba. Perempuan itu bahkan perlu waktu berpikir yang sangat lama untuk menolak, dan dalam sepersekian detik cepatnya mengiyakan ajakannya.

Dapat berumur seperti anak-anak yang sedang ia lihat dan segera berlari menuju mereka dan bergabung bersama tanpa menunggu ajakan mereka. Ia sempat menginginkan itu.
Ia tidak akan mengulangi kesalahan kedua kalinya. Sayangnya, not everyone deserves a second chance.

No comments:

Post a Comment